- Home >
- Makalah Fana, Hulus, Sathahah, Ittihad
Posted by : Unknown
Senin, 21 November 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akhlak Tasawuf merupakan disiplin
ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat.
Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga bisa dikatakan
bahwasanya At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al-akhlaqu
bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional
yaitu dengan intuisi / wijdan. Intuisi di sini maksudnya adalah mengosongkan
diri dari dosa. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Fana’, Baqa’,
Hulul, dan Ittihad yang merupakan salah satu komponen
dari akhlak tasawuf.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah
ini adalah
1.
Apa
pengertian Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?
2.
Bagaimana
pengalaman rohani Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?
C. Tujuan
1.
Dapat
mengetahui pengertian Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?
2.
Mengetahui
pengalaman rohani Fana’, Baqa’, Hulul, dan Ittihad?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fana
dan Baqa’
Fana (الفناء)
artinya hilang, hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi
agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa (البقاء)
artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana
dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifat. Seorang sufi untuk ma’rifat
harus bisa menghancurkan diri terlebih dahulu, dan proses penghancuran diri
inilah di dalam tasawuf disebut “Fana” yang diiringi oleh “Baqa”.[1]
Dalam ‘Risalatul Qusyairiyah’
dinyatakan bahwa Fana adalah menghilangkan sifat-sifat yang tercela dan Baqa
artinya mendirikan sifat-sifat yang terpuji. Barang siapa yang menghilangkan
sifat tercela maka timbullah sifat yang terpuji. Jika sifat tercela menguasai
diri maka tertutuplah sifat yang terpuji bagi seseorang.[2]
Dari segi bahasa Al-Fana berarti
hilangnya wujud sesuatu, sedangkan Fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya
kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim
digunakan pada diri. Menurut pendapat lain Fana berarti bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya
sifat-sifat yang tercela.[3]
B. Hubungan Fana’ dan Baqa’
Sebagai akibat dari Fana’
adalah Baqa’. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud
para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan
dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang
kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang
beriringan, sebagai mana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :
“Apabila tampaklah nur kebaqaan,
maka fanalah yang tiada, dan baqa’-lah yang kekal”
Tasawuf itu ialah mereka Fana’
dari dirinya dan Baqa’ dengan tuhannya, karena kehadiran hati mereka
bersama Allah.
التصوف فانون عن انفسسهم و باقون بربهم بحضور
قلوبهم مع الله
Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari
dirinya, dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.[4]
Dengan demikian, dapatlah dipahami
bahwa yang dimaksud dengan Fana’ adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah,
akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia.
Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu
pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini
perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertobat, berzikir, beribadah, dan
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh
orang sufi adalah penghancuran diri (Al-Fana ‘an Al-Nafs), yaitu
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut
al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:
“Fana seseorang dari dirinya dan
dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
tentang makhluk lain itu, sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula
makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.
Kalau seorang sufi telah mencapai Al-Fana’
Al-Nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak
disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniah. Menurut Harun
Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah
tercapainya Al-Fana’ Al-Nafs. Tak ubahnya dengan Fana’ yang terjadi
ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Dengan
hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan
kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ ini adalah
mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang
didasari hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan
hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerus dan juga karena
dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan di mana seorang hanya menyadari
kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat jembatan atau
maqam menuju Ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan).
C.
Tingkatan-Tingkatan Fana dan Hikmahnya
1.
Tingkat I. Fana Fi af-alillah |Fana pada tingkat pertama ini, seseorang telah
mulai dalam situasi dimana akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan
terjadi sebagai “ilham” tiba-tibaNur Ilahy terbit dalam hati
sanubari muhadara atau kehadiran hati beserta Allah dalam situasi mana, gerak
dan diam telah lenyap menjadi gerak dan diamnya Allah.
2.
Tingkat II. Fana Fissifat |Fana pada tingkat II ini, seseorang mulai dalam
situasi putusnya diri dari Alma Indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat
kebendaan, artinya dalam situasi menafikan diri dan meng-isbatkan sifat Allah,
memfanakan sifat-sifat diri kedalam kebaqaan Allah yang mempunyai sifat
sempurna.
3.
Tingkat III. Fana Fil-Asma | Fana pada tingkat III ini, seseorang telah dalam situasi fananya
segala sifat-sifat keinsanannya. Lenyap dari Alam wujud yang gelap ini, masuk
ke dalam Alam ghaib atau yang penuh dengan Nur Cahaya.
4.
Tingkat IV. Fana Fizzat | Fana pada tingkat IV ini, seorang telah beroleh perasaan bathin pada suatu
keadaan yang tak berisi, tiada lagi kanan dan kiri, tiada lagi muka dan
belakang, tiada lagi atas dan bawah, pada ruang yang tak terbatas tidak
bertepi. Dia telah lenyap dari dirinya sama sekali, dalam keadaan mana hanya
dalam kebaqaan Allah semata-mata. Dapat disimpulkan bahwa segala-galanya telah
hancur lebur, kecuali wujud yang mutlak.
D. Pengertian Ittihad
Berbicara Fana’ dan Baqa’
ini erat hubungannya dengan Al-Ittihad, yakni penyatuan batin atau
rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari Fana’ dan Baqa’ itu
sendiri adalah Ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat
Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa Fana’ dan Baqa’ tidak dapat
dipisahkan dengan pembicaraan paham Ittihad. Dalam ajaran Ittihad
sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana dikatakan oleh Al-Badawi, yang
dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenar-benarnya yang ada dua wujud yang
berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam Ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara
yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi
dan Tuhan.
Dalam situasi Ittihad yang demikian
itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di
mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu
dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”.
Dengan demikian jika seorang sufi
mengatakan misalnya “maha suci aku”, maka yang dimaksud aku di situ bukanlah
sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan,
melalui Fana’ dan Baqa’.
E.
Tokoh yang
Mengembangkan Fana’
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid
Al-Bustami disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana’
dan baqa. Nama kecinya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati
kaum sufi seluruhnya. Ketika Abu Yazid telah Fana’ dan mencapai Baqa’
maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati
memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai
Tuhan padahal sesungguhnya ia tetap manusia biasa, yaitu manusia
yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan tuhan. Di antara ucapan
ganjilnya ialah; “tidak ada tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah
saya, alangkah besarnya kuasaku.” Selanjutnya Abu Yazid Mengatakan “Tidak ada
tuhan selain aku, maka sembahlah aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”
Selanjutnya diceritakan bahwa:
seseorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya:
“siapa yang engkau cari?” Jawabnya: “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan:
“pergilah”. Di rumah ini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha
Tinggi. “Ucapan yang keluar dari mulut abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya
sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam Ittihad
yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak
mengaku dirinya sebagai Tuhan.
F.
Fana’,
Baqa’, dan Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an dan Ulama
Fana’ dan Baqa’
merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah surat
Al-kahfi ayat 10 yang berbunyi:
“Barang siapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.”( Q. S. Al-Kahfi,
18: 110).
Paham Ittihad ini juga dapat
dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya
Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah
dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa
Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan
secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal Shaleh,
dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak
buruk (Fana’), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan
sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana’ dan Baqa, hal
ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:
“Semua yang ada di bumi itu akan
binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(Q.S. Al-Rahman: 26-27).
Dalam pandangan ulama’ lain, seperti
Ibnu Taimiyyah, ia menentang paham Hulul dan Ittihad, yang
terjadi pada waktu Fana’, pada waktu lenyap dan hanyut dalam keadaan
tidak sadar diri, disebabkan cinta pada Allah, sebagaimana golongan yang
menamakan dirinya ahli hakikat, dalam islam hal demikian dianggap kufur,
menurut Ibnu Taimiyah. Paham mengenai bentuk penyatuan atau mencintai Tuhanya
seringkali mengundang berbagai pendapat hadir di alamnya, di antaranya, untuk
mewujudkan wujud itu hanya satu dan bersatu antara khalik dan makhluk, namun
bukan seperti paham yang di bawa oleh Ibnu Taimiyyah, menurutnya bersatu dengan
Tuhan itu dalam arti tujuan dan keindahan, seperti mencintai apa yang dicintai
Tuhan, membenci apa yang dibenci Tuhan, jadi Hulul atau Ittihad
dapat bersatu dzatnya dengan Tuhan. Menurut Ibnu Taimiyyah memang ada perkataan
Hulul yang dapat diterima pengertiannya oleh ahli sunah, jika
dimaksudkan, ketinggalan bekas dan sari dalam hati seseorang sesudah ia
mengetahui, jika sari ilmu itu kemudian berbekas pada lidahnya, maka hati itu
menjadi baik, dan jika kemudian berbekas pada anggotanya, maka hal itu menjadi
lebih baik, seorang mukmin yang percaya kepada Tuhannya dengan hati dan anggota
badanya, iman itu berkumpul pada hatinya sebagai ilmu dan sebagai Ikhwal,
membenarkan dengan hati, mentaati dengan hati, dengan demikian menjadi satu
perkataan, lidahnya dengan amal anggota badanya, maka lalu terjadilah hulul,
membenarkan adanya Allah, menyerahkan diri pada Allah, itu merupakan pandangan
dari Ibnu Taimiyyah. Mungkin pandangan ini berbeda dengan yang lain, karena
wajar saja, mereka memahami dari sisi yang berbeda pula, namun apa pun bentuk
dan pandangan dari paham ini, yang jelas adalah salah satu bentuk
kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya, bentuk pengagungan atas nikmat yang
telah diberikan-Nya.[5]
Kemudian di sisi lain Kaum mutakallimin menganggap
bahwa fana’ adalah proses menghilangnya sifat syai, sedang baqa’ adalah
keabadian sifat-sifat tertentu, Dalam pengertian lain dijelaskan pula bahwa
pengertian fana’ adalah, meninggal dan musnah, dan baqa’ berarti
hidup dan selamanya[6]. Mustafa
Zahri berpendapat bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya
indrawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang
suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat
ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud
ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari
alam makhluk.[7]
G.
Pengertian,
Tujuan dan Kedudukan Hulul
Secara harfiah Hulul berarti
Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah
dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui Fana’. Menurut keterangan
Abu Nasr Al-Tusi dalam Al-Luma sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia
hanya melihat diri-Nya sendiri. Allah melihat pada zatnya sendiri dan Ia pun
cinta pada zatnya sendiri, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab
dari banyaknya ini.
Al-hallaj berkesimpulan bahwa dalam
diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan
terdapat sifat ketuhanan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia
menyatu dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka Al-Hulu dapat dikatakan sebagai suatu
tahap di mana manusia dan Tuhan menyatu secara Rohaniah. Dalam hal ini Hulul
pada hakikatnya istilah lain dari Al-Ittihad sebagaimana telah
disebutkan di atas.
Tujuan dari hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan
(nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seseorang insan telah
suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
H.
Tokoh yang
Mengembangkan Paham Al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di
atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham Al-Hulul adalah Al-Hallaj.
Nama lengkapnya adalah Husein Bin Mansur Al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H (858
M), di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia
tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun ia
sudah belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin
Ab-bashrah di Negri Ahwaz.
Dalam paham Al-Hulul yang
dikemukakan Al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama,
bahwa paham Al-Hulul merupakan pengembangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fana’ adalah proses menghancurkan
diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa adalah
sifat yang mengiringi dari proses Fana’ dalam penghancuran diri untuk mencapai
makrifat. Secara singkat, Fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan
Baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji. Adapun tujuan Fana’ dan Baqa adalah
mencapai penyatuan secara rohaniah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga yang
disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Sedangkan kedudukan Fana’ dan Baqa
merupakan hal. Dalam sejarah tasawuf, Sufi yang pertama kali memperkenalkan
paham Fana’ dan Baqa adalah Abu Yazid al-Bustami. Ittihad adalah kondisi
penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah melalui peniadaan diri, penyaksian,
penemuan zat dengan rasa kenikmatan yang luar biasa, maka ini juga yang disebut
kebahagiaan yang tinggi atau kebahagiaan yang sempurna. Hulul diartikan sebagai
penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah zat-Nya melebur ke dalam tubuh
hamba-Nya Wihdatu al-wujud yaitu kesatuan dari dua wujud yang berbeda yaitu
wujud pencipta atau tuhan (al-khaliq)dan wujud ciptaan atau hamba (Al-Makhluq).
DAFTAR PUSTAKA
NATA,
Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Abu
bakar, pengantar sejarah sufi dan tasawuf, solo, ramdhani, 1993,
cet 7. Hlm 138-143
Khan
shahib, Cakrawala Tasawuf, jakarta; rajawali, 1987, hlm 91
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-fana-al-baqa-al-ittihad.html,
di akses pada tanggal 14 maret 2013, pukul 14:37
Abudin
nata, Akhlak tasawuf, jakarta; PT raja grafindo persada, 2000,cet
3, hlm 233, dikutip dari mustafa zahri,kunci memahami ilmu tasawuf,
surabaya; bina ilmu,1985, cet 1, hlm 234.
[1] A. Mustofa,
Akhlak Tasawuf untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), hlm. 259.
[2] Ibid, hlm. 260.
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 231-232.
[4] Abudin
nata, Akhlak tasawuf, jakarta; PT raja grafindo persada, 2000,cet
3, hlm 233, dikutip dari mustafa zahri,kunci memahami ilmu tasawuf,
surabaya; bina ilmu,1985, cet 1, hlm 234.
[7]
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-fana-al-baqa-al-ittihad.html,
di akses pada tanggal 14 maret 2013, pukul 14:37